Mengapa Megawati Menjual Indosat
Video: Rilis 3 Platform AI, Indosat Fokus Jadi Perusahaan AI TechCo
Satu hal yang paling diingat oleh masyarakat Indonesia jika berbicara tentang era kepemimpinan Presiden Megawati adalah saat keputusannya untuk menjual BUMN Indosat.
Keputusan divestasi tersebut dimenangkan oleh perusahaan asal negara tetangga, yaitu Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (ST Telemedia). STT merupakan perusahaan yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah Singapura.
Saat dijual pada 2002, ST Telemedia mengeluarkan dana sekitar Rp5,6 triliun untuk membeli 41,94% saham. Namun, lima tahun kemudian, justru ST Telemedia yang memperoleh keuntungan berlipat setelah menjual seluruh saham Indosat yang dibeli dari Indonesia kepada Qatar Telecom QSC.
Baca Juga: PPP Siap Ditemui, Elite Megawati Bongkar Modal Koalisi: Parpol dalam Jajaran Jokowi, Kecuali...
Imbas dari keputusan tersebut, Presiden Megawati menuai kritik pedas dari pengamat politik serta masyarakat luas. Pasalnya, Indosat dianggap sebagai aset BUMN yang paling strategis dan yang paling menguntungkan.
Menanggapi hal tersebut, jurnalis senior Bambang Harymurti mengatakan bahwa keputusan tersebut sudah tepat dilakukan dengan mengingat kondisi Indonesia pada awal tahun 2000-an.
“Saya kira itu sialnya Bu Mega, dia dapat kesempatan jadi presiden saat kondisi sangat sulit di Indonesia. Jadi sampai harus jual BUMN Indosat dan lain sebagai macamnya karena (Indonesia) saat itu enggak punya uang akibat dampak dari krisis 1998,” kata Bambang Harymurti, dikutip dalam kanal Youtube Total Politik pada Kamis (27/4/2023).
Menurutnya, wajar apabila masyarakat saat itu membandingkan kondisi pemerintahan Megawati dengan zaman Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, bisa dibilang ekonomi Indonesia stabil karena adanya bonanza minyak pada awal tahun 1980-an.
“Jadi ada pikiran masyarakat kok di bawah kepemimpinan PDIP kok keadaan tidak lebih baik. Padahal siapa pun yang menjadi pemerintah saat itu pasti susah,” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe Editor: Rosmayanti
tirto.id - Kinerja PT Indosat Tbk. sedang dalam sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Baru-baru ini Indosat mengumumkan PHK terhadap 677 karyawannya sebagai bagian dari efisiensi. Langkah itu harus diambil karena hingga kuartal III-2019 perseroan masih mengalami kerugian bersih hingga Rp284 miliar. Sepanjang 2018 Indosat juga merugi hingga Rp2,4 triliun.
Pada 2017 Indosat masih mampu mencetak laba Rp1,1 triliun, naik tipis 2,8% dibandingkan tahun 2016. Sementara pada 2015 Indosat mencatat rugi hingga Rp1,3 triliun.
Harga saham Indosat, yang mencerminkan kinerjanya, juga terus turun dalam tiga tahun belakangan. Dalam lima tahun terakhir, saham tertinggi Indosat dicapai pada 1 April 2017 di kisaran Rp7.175. Sejak saat itu harga saham Indosat terus berada dalam tren penurunan dan sempat mencapai titik terendah di Rp1.685 pada 1 Desember 2018. Setelah itu secara perlahan saham Indosat membaik dan pada 18 Februari 2020 ditutup di level Rp2.170.
Saat ini kepemilikan saham PT Indosat Tbk. dikuasai Ooredoo Asia Pte.Ltd sebesar 65%, disusul pemerintah Republik Indonesia (14,29%) dan publik (20,71%).
Pemerintah Indonesia memang tak lagi memiliki saham mayoritas di Indosat. Meski demikian Indosat masih sering dijadikan komoditas politik atas nama nasionalisme. Isu soal pembelian kembali saham Indosat selalu muncul saat kampanye pemilihan presiden, termasuk pada Pilpres 2019.
Di masa kampanye pilpres, dalam wawancaranya dengan wartawan, cawapres Sandiaga Uno menyentil soal rencananya untuk merebut kembali Indosat yang telah dijual pemerintah di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri.
“Di bawah Prabowo Sandi, akan kami usahakan [membeli lagi Indosat],” jelas Sandi saat itu, seperti dilansir Tempo. Kata Sandiaga, ia akan menunaikan janji kampanye Presiden Jokowi sebelumnya.
Pada masa kampanye Pilpres 2014 Joko Widodo memang pernah menyampaikan janjinya untuk membeli kembali Indosat.
“Ke depan, kita buyback Indonesia (Indosat) sehingga menjadi miliki kita lagi. Maka itu, ekonomi kita harus tumbuh 7%,” kata Jokowi dalam debat capres, menjawab pertanyaan Prabowo soal kebijakan Megawati menjual Indosat, tahun 2014 silam, seperti dikutip Tempo.
Kelahiran dan perjalanan Indosat memang tak lepas dari peran pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditulis Bondan Winarno dalam J.B. Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah (2013), Indosat lahir setelah Presiden Soeharto menyetujui gagasan Dirjen Pos dan Telekomunikasi saat itu, Soehardjono, untuk menggunakan teknologi satelit. Namun Indonesia mengalami keterbatasan sumber daya. Pemerintah akhirnya memberikan kesempatan kepada swasta untuk membangunnya.
Lalu ditunjuklah perusahaan telekomunikasi AS bernama International Telephone & Telegraph Corporation (ITT), melalui American Cable & Radio Corporation (ACR), untuk mengeksekusi gagasan pemerintah tersebut. Dari situ lahirlah Indosat pada 1967. Indosat menjadi salah satu perusahaan PMA pertama sejak diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing di Indonesia. ACR mengawali Indosat dengan modal 6 juta dolar AS.
Indosat kemudian tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Masalah mulai muncul pada 1976. Kala itu Soeharto meminta Indosat berpartisipasi dalam proyek pembangunan kabel laut antara Medan dan Penang untuk melengkapi jaringan telekomunikasi internasional. Proyek tersebut merupakan hasil pembicaraan antara Soeharto dengan Perdana Menteri Malaysia Husein Onn.
Indosat menolak. Alasannya, proyek tersebut merupakan capital expenditure yang belum diperlukan.
Soeharto kecewa dengan penolakan Indosat. Dalam sidang kabinet, masalah ini dibahas. Beberapa usulan sempat muncul mulai dari memberikan tindakan keras hingga melakukan nasionalisasi. Namun Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara saat itu, J.B. Sumarlin, mengusulkan agar pemerintah membeli sepenuhnya saham Indosat. Apalagi kondisi keuangan Indonesia saat itu sedang bagus karena menerima windfall profit dari booming minyak kedua pada 1980.
Alasan Sumarlin menolak nasionalisasi adalah karena pemerintah sedang giat mengundang investasi asing untuk pembangunan. Menurutnya, setiap upaya pengambilalihan paksa bisa berdampak buruk pada usaha pemerintah menggaet investasi asing.
Soeharto menyetujui usulan Sumarlin, yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Tim Akuisisi Indosat. Setelah melakukan serangkaian perundingan, ACR akhirnya sepakat menjual Indosat kepada pemerintah Indonesia dengan harga 43,6 juta dolar AS. Harga itu sudah termasuk unrealized profit.
Sejak saat itu pemerintah Indonesia memegang penuh kontrol atas Indosat. Hingga pada Desember 2002, di bawah kepresidenan Megawati Soekarnoputri, pemerintah memutuskan untuk melepas sebagian saham Indosat.
Video: Indosat Bakal Stock Split, Begini Prospek dan Kinerjanya
Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu masalah yang dialami Indonesia di awal kepemimpinan Presiden Soeharto adalah jaringan telepon untuk berkomunikasi. Kala itu, tidak ada jaringan yang bagus untuk menghubungkan masyarakat antar daerah.
Implikasinya, Indonesia terisolasi dari dunia luar karena tidak ada jaringan komunikasi ke luar negeri. Akhirnya, Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Soehardjono menyarankan Soeharto menggunakan satelit komunikasi.
Namun, karena terbatasnya sumber daya, pemerintah memutuskan menggandeng investor.
"Kebetulan, International Telephone & Telegraph Corporation (ITT) [perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat] juga sedang melirik Indonesia sebagai pasar bagi pengembangan usahanya," tutur J.B Sumarlin dalam J.B Sumarlin: Cabe Rawit yang Lahir di Sawah (2012).
Akhirnya kedua belah pihak setuju dan lahirlah PT Indonesia Satellite (Indosat) pada 20 November 1967. Indosat menjadi perusahaan terawal yang berdiri di Indonesia sejak diberlakukannya aturan UU Penanaman Modal 1967.
Hadirnya Indosat juga membantu tugas Perumtel, cikal bakal Telkom, pada sektor komunikasi. Keduanya berbagi tugas, Indosat untuk jaringan luar negeri sementara dalam negeri diurus Perumtel.
Keinginan Soeharto untuk negaranya terhubung satelit bisa terlaksana pada 1969. Sejak itu, Indosat jadi providder tunggal untuk Perumtel yang menyediakan sambungan telepon internasional.
"Dengan demikian, sejak 1969 lalu lintas telekomunikasi Indonesia makin terbuka dengan negara luar. Penyampaian informasi semakin lancar baik secara audio maupun visual," tulis penulis buku Sejarah Telepon Umum (2019).
Namun Indosat masih merupakan perusahaan asing dan pemerintah hanya kebagian sedikit uang. Itu mengapa muncul wacana nasionalisasi pada 1980, yang akhirnya ditolak Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, J.B Sumarlin.
Sumarlin berpendapat ingin saham Indosat dibeli pemerintah sesuai mekanisme bursa dan harga pasar. Soeharto juga setuju dengan usulan tersebut.
Meski prosesnya alot, AS akhirnya melepas Indosat dengan US$43,6 juta dan resmi menjadi milik pemerintah. Proses ini juga tak salah langkah, Indosat kian berjaya dan menjadi BUMN pertama yang mencatatkan sahamnya di BEJ dan New York Stock Exchange tahun 1964.
Sayang masuk ke abad 21, kejayaan Indosat mulai runtuh. Presiden Megawati memiliki kebijakan privatisasi BUMN, yaki melepas saham pada pihak lain sebagai cara meningkatkan nilai perusahaan atau memperbesar manfaat untuk negara.
Indosat jadi salah satu target aturan tersebut karena dananya akan digunakan untuk menambal defisit negara. Kejayaan Indosat menarik perusahaan asing, termasuk Temasek yang merupakan BUMN Singapura yang akhirnya menjadi pemenang atas mayoritas saham Indosat.
Kemudian kepemilikan Indosat berpindah ke tangan emir Qatar, melalui Ooredoo selalu perusahaan telekomunikasi. Untuk sekarang, pemegang sahamnya adalah Ooredoo Asia Pte Ltd sebesar 43,81%, PPA Investasi Efek (AFS) sebesar 9,63%, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia SA1 sebesar 10,77%, dan Hutchison Asia Telecommunications Ltd sebesar 21,65%.
Saksikan video di bawah ini:
Calon wakil presiden dari Partai Demokrat Jusuf Kalla bersilaturahmi dengan Pemuda Muhammadiyah Kota Palembang, Sumatra Selatan, Selasa (10/8). Dia berjanji jika terpilih nanti tidak akan mengulangi kesalahan dalam mengelola negara.
Menurut Kalla, bangsa Indonesia telah mengalami dua kali kesalahan dalam proses politik ekonomi sejak merdeka. Kesalahan pertama terjadi pada era pemerintahan Orde Baru. Saat itu, pemerintah yang berkuasa terlalu menguatkan posisi konglomerat, sedangkan sebagian besar rakyat terbelenggu dalam kesulitan hidup.
Lebih lanjut Kalla mengatakan, kesalahan kedua terjadi pada era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Kesalahan itu yakni pelepasan aset-aset negara kepada investor. Di antaranya divestasi saham PT Indosat
. Hal itu dikhawatirkan semakin membuat bangsa Indonesia terpuruk.
Karena itu, Kalla mengatakan kesalahan politik ekonomi itu tidak selayaknya terulang kembali di masa mendatang. Menurut Kalla, untuk mengurangi kesalahan tersebut seluruh komponen bangsa, termasuk umat Islam harus dilibatkan dalam sistem pembangunan bangsa.(OZI/Ajmal Rokian)
Indosat didirikan pada 10 November 1967. Penanda dari tumbangnya Orde Lama, dan berdirinya Orde Baru. Soeharto ingin membuat lompatan jauh ke depan, dengan alih teknologi mempunyai satelit sendiri.
Namun, gagasan itu tersandung anggaran. Tak hilang akal, Soeharto mengundang pemodal asing untuk menjadi operator. Perusahaan telekomunikasi asal Amerika Serikat, International Telephone & Telegraph Corporation (ITT), ditunjuk menjadi investor.
Melalui anak usaha American Cable & Radio Corporation (ACR), berdiri Indosat pada 1967. Perusahaan ini sekaligus menjadi pemodal asing pertama sejak ketok palu UU Penanaman Modal Asing di Tanah Air. Modal asing pertama yang masuk ke kantong Indosat senilai US$6 juta.
Namun, pada 1980 Soeharto kecewa dengan Indosat. Pasalnya, tidak mau membangun infrastruktur kabel telekomunikasi yang menghubungkan Penang-Medan. Proyek itu dinilai ACR tidak sesuai dengan belanja modal perusahaan
Akhirnya, pemerintah Indonesia mengambil alih Indosat dengan skema akuisisi. Pemerintah percaya diri karena cuan besar dari booming minyak mentah dunia. Dengan merogoh kocek US$43,6 juta kepemilikan Indosat pindah ke NKRI.
Bisnis Indosat terus melesat. Hingga mencatatkan sejarah sebagai perusahaan telekomunikasi pertama yang melantai di bursa pada 1994.
Saking besarnya, Indosat bersama dengan Telkom - yang merupakan pemimpin pasar saat itu - membentuk PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada 1995, setahun setelah perusahaan pelat merah itu melantai di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange.
Ilustrasi foto Indosat Satelindo yang diluncurkan pada 2001./Bisnis
Selang 6 tahun setelah mendirikan Telkomsel, Indosat mengakuisisi Satelindo, dan membuat IM3, yang fokus pada layanan seluler, yang juga sebagai kompetitor Telkomsel di kemudian hari.
Nahas, yang terjadi 1 tahun setelah membuat IM3, atau tepatnya pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri justru melepas Indosat kepada asing.
Pada tahun tersebut, pemerintah melakukan divestasi saham Indosat sebanyak dua kali. Pertama, divestasi 8,1 persen saham Indosat pada Mei 2002 dengan dana yang diperoleh sebesar Rp1,1 triliun.
Kemudian pada Desember 2002 divestasi 41,9 persen saham dengan memperoleh dana Rp5,62 triliun. Singapore Technologies Telemedia (STT), anak usaha Temasek Group, menjadi pemenang divestasi tersebut. Total dana yang dikeluarkan Rp6,72 triliun untuk 50,04 persen saham.
Setelah enam tahun, STT melepas kepemilikan kepada Qatar Telecom atau Ooredoo, investor asal Qatar. STT tersandung UU KPPU mengenai klausul antimonopoli. STT melalui Singtel memiliki saham di Telkomsel sekitar 35 persen.
Pada Juni 2008 STT melepas kepemilikan Indosat kepada Ooredoo. Pemodal asal Qatar itu merogoh kocek US$1,8 miliar untuk 40,8 persen saham Indosat yang digenggam STT. Dengan kurs Rp10.000 per dolar AS kala itu, nilai transaksi sekitar Rp18 triliun.
Kemudian Ooredoo terus menambah kepemilikan hingga mencapai 65 persen, sedangkan pemerintah menguasai 14,3 persen saham, dan publik 20,7 persen. Komposisi itu berubah setelah aksi korporasi jumbo diresmikan 16 September 2021.
- Putri Soekarno, Diah Mutiara Sukmawati, menegaskan perekonomian terdampak krisis menjadi latar belakang dijualnya Indosat ke Singapura. Adik Megawati Soekarnoputri itu mengamini penjelasan capres Joko Widodo dalam debat putaran ketiga.
"Ya jelas kan memang dijual karena ada krisis yang luar biasa," kata Sukmawati kepada wartawan usai debat capres di Hotel Holiday Inn Jakarta, Minggu (22/4/2014).
Sukmawati menilai Jokowi menguasai topik "Politik Internasional dan Ketahanan Nasional" dalam debat capres hari ini. "Ya bagus, memuaskan sekali," ujarnya.
Prabowo Subianto menyinggung keputusan mantan presiden Megawati terkait penjualan saham Indosat. Dia lalu menanyakan apa langkah Jokowi terkait hal tersebut. Jawaban tegas Jokowi: siap beli lagi.
Dengan tegas, capres nomor 2 ini mengatakan siap membeli kembali perusahaan telekomunikasi tersebut. Namun sebelumnya Jokowi sempat menyinggung situasi ekonomi kala itu yang membuat Mega terpaksa menjual Indosat.
"Saat itu tahun 1998 krisis berat, pada saat ibu Megawati jadi presiden saat itu, kondisi ekonomi belum baik. Bicara pada saat krisis, imbas krisis, keuangan APBN masih berat waktu Indosat dijual," kata Jokowi dalam debat.
"Ke depan kucinya hanya satu: kita buyback! Kita ambil kembali saham itu dan menjadi milik kita lagi. Tentunya bila ekonomi kita di atas 7 persen" sambung Jokowi.
Babak baru yang paling diingat oleh banyak masyarakat Indonesia adalah keputusan divestasi saham Indosat yang dilaksanakan pemerintah dan dimenangkan oleh perusahaan negara tetangga, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (ST Telemedia). STT sendiri sahamnya dikuasai Temasek milik pemerintah Singapura.
Presiden Megawati menuai kritik pedas atas keputusan menjual saham BUMN telekomunikasi tersebut. Para kritik menganggap Indosat adalah aset strategis, selain itu Indosat juga dianggap sebagai BUMN yang menguntungkan.
Pada 15 Desember 2002, STT mengeluarkan dana US$ 630 juta atau Rp 5,62 triliun (kurs Rp 8.900/US$) untuk pembelian 41,94% saham yang setara 434.250.000 saham seharga Rp 12.950 per saham.
Kekesalan publik mencapai langit-langit setelah lima tahun kemudian STT mendapat untung berlipat dengan menjual seluruh saham PT Indosat Tbk kepada Qatar Telecom QSC (Qtel).
Qatar merogoh dana SG$ 2,4 miliar (US$ 1,8 miliar) atau setara dengan Rp 16,740 triliun menggunakan kurs 9.300/US$ untuk membeli saham Indosat dari tangan STT.
Beberapa bulan jelang penuntasan pembelian Qatar, saham Indosat sebenarnya mengalami tren pelemahan, tercatat selama enam bulan saham ISAT menyusut 40% dari semula Rp 9.350 per saham pada 7 Desember 2007 menjadi Rp 5.650 pada 6 Juni 2021.
Meskipun demikian Qtel tetap membeli Indosat dari Singapura menggunakan harga premium yang mencapai Rp 7.388 per saham.
Qtel yang kala itu memiliki 44 juta konsumen di 16 negara, menyatakan akan membayar tunai pembelian tersebut. Qtel sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di Timur Tengah yang jaringannya tersebar di Asia Pasifik, Amerika dan Eropa.
Setelah dibeli Qatar nama perusahaan berubah menjadi PT Indosat Oorede Tbk.
Kini dalam babak paling baru, Indosat mengumumkan merger dengan perusahaan telekomunikasi asal Hong Kong, CK Hutchison Holdings Limited.Merger ini menyebabkan CK Hutchison menerima saham baru di Indosat Ooredoo hingga 21,8% dari Indosat Ooredoo Hutchison.
Saksikan video di bawah ini:
Divestasi Menuai Kontroversi
Singapore Technologies Telemedia (STT), anak usaha Temasek, dinyatakan sebagai pemenang divestasi 41,94% saham Indosat, pada harga Rp12.950 per lembar saham. Total dana yang didapat pemerintah sebesar Rp5,62 triliun.
Sebelumnya, pada Mei 2002, pemerintah juga melakukan divestasi 8,1% saham Indosat dengan dana yang didapat sebesar Rp1,1 triliun. Dengan demikian pemerintah total mendapatkan Rp6,72 triliun dari penjualan 50,04%.
Pemerintah membutuhkan dana untuk menutup defisit anggaran. Di tahun itu APBN mengalami defisit Rp27 triliun atau 1,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Privatisasi BUMN diharapkan bisa memberikan sedikit sumbangan untuk meringankan defisit APBN.
Laksamana Sukardi sebagai Menteri BUMN saat itu, sebagaimana dilaporkan Liputan 6, menyatakan divestasi Indosat dilakukan dalam rangka menjalankan amanat UU. Proses penjualannya juga disebut sudah dikonsultasikan dengan DPR.
Penjualan Indosat kemudian memicu kegaduhan nasional. Ia menjadi bola liar yang membidik Megawati dan Laksamana Sukardi. Divestasi itu akhirnya menuai gugatan class action yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 23 April 2003. Materi gugatan ditandatangani 133 orang dengan menggarisbawahi 7 jenis pelanggaran yang terjadi dalam divestasi Indosat. Namun gugatan itu ditolak PN Jakpus dan Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pada akhirnya STT melepas saham Indosat kepada Qatar Telecom (Qtel) pada Juni 2008. Penjualan dilakukan setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan Temasek bersalah pada November 2007.
Infografik Sejarah Indosat. tirto.id/Quita
KPPU menyatakan Temasek dan anak-anak perusahaannya yang terkait terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar larangan kepemilikan silang sesuai dengan Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 (UU Anti Monopoli).
Temasek yang memiliki Indosat melalui STT tercatat juga menguasai 35% saham Telkomsel melalui Singtel. Temasek secara tidak langsung menjadi pemegang saham ganda di dua operator telekomunikasi terbesar di Indonesia.
KPPU memerintahkan Temasek dan kawan-kawan untuk menghentikan kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat dengan cara melepas seluruh kepemilikan saham pada salah satu perusahaan tersebut, paling lama dua tahun sejak putusan KPPU berkekuatan tetap.
Qtel sepakat untuk membayar 1,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,4 triliun (kurs Rp9.000 per dolar AS), untuk 40,8% saham STT di Indosat. Itu artinya, Temasek untung sekitar Rp11 triliun dari penguasaannya atas sekitar 40% saham Indosat dalam kurun waktu enam tahun.
Pada 2015 Indosat resmi berganti nama menjadi PT Indosat Ooredoo. Hal itu sejalan dengan perubahan nama Qatar Telecom menjadi Ooredoo yang dilakukan sejak 2013.
Pergantian kepemilikan dan nama tetap tak mengubah “kutukan” politik atas Indosat. Ia masih menjadi komoditas politik hingga belasan tahun setelah divestasi. Upaya untuk membeli kembali terus digaungkan, meski di saat yang sama Indosat berjuang untuk keluar dari kubangan kerugian.